Blake Mycoskie - Memadukan Bisnis dengan Berderma

Bisnisnya dimulai dari bisnis laundry untuk kalangan mahasiswa. Namun Blake Mycoskie yang peduli pada orang lain baru menemukan bisnis yang sesuai dengan karakternya kala mendirikan TOMS, bisnis sepatu dengan konsep buy-one-give-away-one.

Kesempatan terbaik sering kali datang dari peristiwa yang tak terduga. Bahkan tak jarang berasal dari peristiwa atau kondisi yang tak mengenakkan. Sayangnya tak semua orang bisa mengenali kesempatan itu karena sering kali tersamar. Hanya mereka yang jeli, yang bisa memanfaatkan dan mengembangkannya menjadi sukses hidup.

Blake Mycoskie termasuk yang memiliki kejelian itu. Belasan tahun lalu, ia masuk ke Southern Methodist University (SMU), Dallas, Texas, melalui program beasiswa tenis. Artinya ia masuk ke universitas itu karena jago bermain tenis. Di Amerika Serikat ada banyak beasiswa tenis (tennis scholarship)  bagi mereka yang berbakat di bidang olahraga ini. Selain kuliah, ia juga akan bermain tenis dalam berbagai turnamen untuk mengangkat almamaternya di bidang tenis.

Sayangnya di tahun keduanya, ia mendapat cedera otot tendon yang membuatnya hampir frustrasi. Ia tak bisa ke mana-mana, hanya duduk saja di asramanya. “Bahkan pakaian kotor yang terus menumpuk pun tak bisa saya bawa turun (untuk dibawa ke laundry),”  katanya. Pada saat itu tiba-tiba saja ia berpikir, seharusnya ada perusahaan laundry yang khusus melayani kalangan mahasiswa yang bisa mengambil pakaian kotor dan mengantarkannya setelah bersih dan rapi.


Mendirikan Perusahaan Laundry

Pikiran itu terus terbawa sampai suatu kali ia menemukan bahwa di universitas-universitas memang tak ada perusahaan laundry khusus buat mahasiswa. Tentu saja ini peluang usaha yang menggiurkan. Karena itu ia putuskan untuk mendirikan perusahaan laundry di lingkungan kampus SMU pada tahun 1997 dengan nama EZ Laundry.

Ternyata EZ Laundry tak hanya disambut baik teman-temannya di SMU, tetapi juga diminta melayani kampus lain. Blake lalu membangun jaringan pemasaran. Dan dalam waktu yang hanya bulanan, EZ Laundry sudah bisa melayani empat kampus. Untuk melayaninya ia mempekerjakan 40 orang dengan alat angkut sebanyak delapan truk. “Saya mendirikan usaha ini karena ingin melakukan sesuatu tanpa bergantung pada tangan saya sendiri,” ujarnya mengungkapkan motivasi bisnisnya.

Saat itu ia bangga dengan bisnisnya yang berkembang.  “Ayah saya seorang dokter dan suka bermain golf.  Namun setiap kali bermain golf, ia membuang uang. Saya saat itu sudah jadi pengusaha, sudah bisa menghasilkan uang meskipun saya masih sekolah,” ujarnya membandingkan.

Setelah itu, ide-ide bisnis baru bermunculan. Salah satunya adalah ide membuat bisnis billboard yang murah. Jika suatu perusahaan ingin mendirikan billboard, mereka harus membangun atau menyewa bangunan billboard sendiri yang tentunya tak murah. Lalu kenapa tidak memanfaatkan tembok-tembok tinggi di sejumlah gedung yang mudah dilihat?

Ide itu ia realisasikan dengan mendirikan Mycoskie Media. Bisnis media luar ruang ini ia tujukan untuk pasar musik country di Nashville. Karena itu, ia harus pindah. Kepindahan itu membawa konsekuensi lain karena ia juga harus menjual perusahaan laundry-nya yang baru berumur 9 bulanp, meski usaha tersebut memiliki prospek bagus. Namun demi masa depan, ia memilih bertekad membangun bisnis baru yang dianggapnya punya peluang lebih bagus.

Ia menjalankan bisnis media luar ruangnya selama tiga tahun. Setelah itu ia menjalankan beberapa bisnis kreatif. Termasuk mendirikan televisi kabel dan mengelola program reality show. Namun semua itu belum memuaskannya. Ia merasa belum menemukan apa yang dicarinya.

Berderma

Suatu kali, ia bertemu dengan seorang pengusaha sukses bernama Bob Dedman, pemilik ClubCorp. Menurut Mycoskie, Bob seorang miliarder yang juga penderma. “Saat itu ia menyumbangkan US$ 200 juta, sedangkan saya baru memulai bisnis laundry. Saya meminta saran padanya agar bisnis saya bisa sukses. Ia bilang, ‘Makin banyak yang kamu beri, makin banyak orang yang bisa hidup’. Saya lalu pegang terus nasihat Bob itu,” papar Mycoskie. Mungkin karena itulah, Mycoskie selalu mencari bisnis apa yang bisa ia lakukan dengan konsep seperti yang diwejangkan oleh Bob.

Suatu ketika, ia mengikuti reality show bertajuk The Amazing Race di salah satu televisi, CBS. Dalam acara itu, ia berkesempatan melanglang buana ke beberapa tempat dan negara. Termasuk berkunjung ke Argentina pada awal tahun 2006.

Di negeri Tango itu ia menemukan sesuatu yang menurutnya cukup menyayat hati. Saat itu, ia masuk ke pedalaman di mana para petani negeri itu tinggal. Lalu ia menemukan anak-anak di sana berjalan tanpa alas kaki. “Itu sudah pasti menyakitkan,” kata Mycoskie. Kejadian itu menggugah dirinya untuk memikirkan bagaimana cara membantu mereka.

Akhirnya, setelah beberapa kali berpikir, ia menemukan solusinya. “Pada dasarnya saya suka membantu orang lain, tetapi saya tak mau melakukannya dengan hanya menyumbang. Saya ingin melakukan sesuatu yang berbeda,” ujarnya. Solusi itu muncul  dalam bentuk ide bisnis yang ia beri nama “Buy-one-give-one-away”. Beli satu-sumbangkan satu. “Saya bisa menjual sepasang sepatu dengan harga US$40, dengan modal itu saya bisa membuat sepatu dengan kualitas bagus untuk disumbangkan,” ujarnya.

Dari situlah bisnis sepatunya dimulai. Bisnis ini sekaligus menjangkau kedua sisi tuntutan hidupnya, menjalankan bisnis sepatu sekaligus bisa menyumbangkan sepatu pada anak-anak yang tidak mampu. Ia mendirikan perusahaan sepatu bernama TOMS dengan slogan Shoes for Tomorrow di Nevada, Amerika Serikat. “Saya memang bukan ahli sepatu, tetapi saya belajar bagaimana membuat sepatu,” ujarnya.

Ia mengajak timnya mengunjungi sekolah-sekolah untuk mempromosikan sepatunya. Menurut Mycoskie, masyarakat Amerika kini sudah makin sadar akan pentingnya kebersamaan hidup karena setiap manusia sama-sama hidup dalam satu bumi. Manusia harus saling membantu. Mycoskie dan timnya di TOMS terus mengkampanyekan proyek buy-one-give-away-one-nya. Dan ternyata sambutannya luar biasa.

Tahun itu juga Mycoskie sudah bisa mengumpulkan 10.000 pasang sepatu untuk disumbangkan. Artinya, sebanyak itu juga sepatu yang sudah dijualnya dari program ini. Lalu ia pergi ke Argentina dan menyumbangkan sepatu-sepatu itu untuk anak-anak yang tidak mampu. Pada tahap berikutnya Mycoskie tak hanya menyumbangkan sepatu ke Argentina. Proyeknya ia lebarkan juga ke tempat lain termasuk ke kalangan tidak mampu di Amerika Serikat sendiri. Jangan heran jika ia kini sudah bisa menyumbang sepatu mulai dari Argentina (Amerika Latin), Afrika, hingga Asia. Total sepatu yang sudah disumbangkannya mencapai ratusan ribu pasang.

Pola pemasarannya pun terus dikembangkan. Sekarang tak hanya melalui kegiatan kampanye door-to-door. Ia juga menjual sepatu melalui website dan ratusan butik di berbagai kota di Amerika Serikat. Terbukti, banyak orang yang mau peduli pada nasib sesamanya dengan membeli sepatu-sepatu TOMS.

Karena TOMS makin berkembang, Mycoskie memutuskan untuk melepas bisnisnya yang lain sehingga ia bisa konsentrasi mengembangkan bisnis ini. TOMS sepertinya sudah memenuhi harapannya berbisinis. Berbisnis, kata Mycoskie, tak selalu memburu untung, tetapi bisa juga dipadukan dengan memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkannya. Konsep bisnis ini sesuai dengan karakter Mycoskie yang selalu peduli pada nasib orang lain. Dan terbukti, dengan banyak menyumbang bisnisnya justru bertumbuh dengan baik. 

sumber : andriewongso.com

baca juga : Lahir Lumpuh otak namun sukses jadi Top Seller