Bagai Mendapat Durian Runtuh

Alkisah, ada dua orang pemuda desa yang ingin mengadu nasib ke kota. Dua sahabat itu meski berteman sejak kecil, namun perangainya cukup berkebalikan. Yang satunya adalah seorang pekerja keras, yang satu lagi sering mengandalkan bantuan orang lain. Kelebihannya hanyalah pandai bergaul, sehingga ia banyak disukai orang. Sementara sahabat satunya adalah orang yang cenderung bekerja dalam diam.

Meski begitu, keduanya tetap saling mendukung satu sama lain. Maka, ketika berdua ingin mengubah nasib di kota, mereka pun berjanji untuk saling menjaga satu sama lain.

Suatu kali, di tengah perjalanan yang harus melewati hutan belantara, mereka pun istirahat sejenak di bawah pohon yang rindang. Mereka bercengkerama dan saling berkisah tentang cita-cita mereka kelak saat bekerja di kota nanti. Namun, di tengah keasyikan obrolan, terdengar suara orang minta tolong. Mereka kaget, ada suara lemah minta tolong di tengah hutan yang cenderung sepi.

Sedikit ketakutan, mereka berdua pun mencari sumber suara tersebut. Pelan-pelan, mereka mendekati suara minta tolong yang terdengar seperti rintihan. Setelah berjalan beberapa langkah, mereka dikejutkan oleh sebuah lubang menganga besar di tengah hutan. Mereka pun melongok ke dalam, sumber di mana suara minta tolong tadi berasal.

Di dalam lubang, ternyata ada seorang pemuda yang terkulai. Ia rupanya terjatuh ke dalam lubang jebakan yang biasanya dipasang untuk menjebak binatang hutan. Maka, kedua sahabat itu pun bergegas mencari akar-akar di hutan untuk dijalin menjadi tali guna menyelamatkan si pemuda dari dasar lubang. Cukup lama mereka berusaha membantu si pemuda. Sebab, lubang yang menganga cukup dalam. Saat sore menjelang, si pemuda baru berhasil dikeluarkan dari dalam lubang.

Berhati-hati, mereka membantu memberikan pertolongan pertama pada si pemuda. Setelah memberinya cukup minum dan makanan ala kadarnya, barulah si pemuda sadar, meski belum pulih sepenuhnya.

“Terima kasih kalian telah menolongku. Mungkin kalau tak ada kalian, hidupku sudah berakhir di lubang tadi. Sebagai ungkapan rasa terima kasihku, maukah kalian menemaniku untuk menerima sedikit ucapan terima kasih di kota nanti?” ujar si pemuda.

"Sudahlah, kami sudah senang bisa membantumu selamat dari lubang tadi. Kami akan tetap mengantarmu ke kota, karena memang tujuan kami ke sana,” ujar Lao, si pemuda yang mudah bergaul.

Maka, tak menunggu lama, menjelang gelap, mereka sudah keluar dari hutan itu untuk menuju ke kota. Sembari berjalan perlahan, mereka bertiga pun terlibat percakapan. “Mengapa kalian berdua pergi ke kota? Hendak ke manakah kalian sebenarnya?” tanya si pemuda.

Xiao, pemuda yang giat bekerja menjawab,”Kami hanyalah pemuda desa yang ingin mengubah nasib ke kota.”
“Wah, kebetulan sekali. Ikutlah kalian denganku. Ayahku pasti akan mau membantu orang yang sudah menolongku,” sebut si pemuda.

Tiba di kota, ternyata si pemuda adalah anak seorang saudagar kaya raya. Kegemarannya berburu binatang di hutan. Karena itulah, ia sempat terjatuh ke lubang di hutan, hingga ditolong kedua pemuda desa, Lao dan Xiao. Rupanya, adalah keberuntungan amat besar bagi Lao dan Xiao, karena ternyata mereka telah menyelamatkan anak orang terpandang di kota tersebut. Sehingga, tak perlu waktu lama, mereka pun mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak dengan bekerja kepada ayah si pemuda.

Hari berganti, tahun pun berlalu. Lao dan Xiao telah dianggap menjadi keluarga sendiri oleh sang saudagar. Lao yang pandai bergaul, pintar mengambil hati keluarga tersebut, terutama si pemuda anak mereka, sehingga ke mana-mana selalu berdua. Sayang, pekerjaan mereka berdua hanya sering bermain-main dan bersenang-senang. Sebaliknya, Xiao yang cenderung pendiam namun tekun bekerja, makin dipercaya untuk menangani urusan-urusan bisnis keluarga tersebut.

Melihat kondisi tersebut, sang saudagar ingin memberi pelajaran kepada anaknya. “Anakku, suatu saat nanti kamu sebagai anak tunggal akan jadi pewaris usahaku. Karena itu, aku ingin kamu memilih orang kepercayaan yang bisa kamu andalkan. Nah, sebelum nanti kamu aku berikan tanggung jawab mengurus usaha ini, kamu harus aku uji. Ada satu usaha keluarga di pelabuhan sana yang butuh untuk diperbaiki. Tugasmu, sekarang coba benahi usaha tersebut. Pilih antara Lao atau Xiao untuk membantumu. Jika berhasil, semua usaha ini akan aku wariskan kepadamu. Sebaliknya, jika gagal, aku akan memberikan usaha ini kepada orang lain yang aku rasa paling tepat untuk meneruskan usaha ini. Aku berikan waktu hingga satu tahun!”

Karena lebih akrab dengan Lao, si pemuda pun memilihnya untuk mendampingi tugas tersebut. Bulan pun berlalu. Karena keduanya hanya sering bermain-main, maka bukannya jadi lebih baik, usaha tersebut malah makin parah kondisinya. Maka, saat setahun berlalu, keduanya pun gagal. Mereka pun menghadap sang saudagar dengan wajah tertunduk malu.

“Wahai anakku, kamu telah gagal memenuhi tugasku. Ketahuilah, kamu itu seperti mendapat 'durian runtuh', punya ayah sukses kamu tinggal meneruskan. Begitu juga dengan Lao, mendapat kepercayaan tapi tidak dijalankan dengan baik. Keberuntungan memang kerap datang, tapi bisa jadi 'durian runtuh' itu tak akan datang dua kali. Hanya mereka yang mau berusaha dan bekerja lebih keras, maka keberuntungan-keberuntungan lain akan menghampiri."

Saudagar itu melanjutkan, "Contohlah Xiao, meski pendiam, namun dia pekerja keras. Aku melihat potensi pada dirinya. Kali ini, kamu aku maafkan. Namun dengan syarat, kamu dan Lao harus belajar pada Xiao, bagaimana bekerja keras untuk bisa menciptakan keberuntungan-keberuntungan lain dalam hidupmu!”

Sahabat Luar Biasa,

Memang banyak orang yang seolah-olah mendapat keberuntungan yang tiba-tiba. Namun, jika ia hanya terus berharap datangnya keberuntungan tanpa mau bekerja keras, jangan harap keberuntungan itu akan datang seterusnya. Laksana mendapat "durian runtuh", bisa jadi durian itu tak akan runtuh lagi.

Maka, saat durian runtuh sudah didapat, coba untuk mengolah durian itu menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Begitu juga saat mendapatkan keberuntungan. Jangan tenggelam dalam kesenangan. Tapi, jadikan itu sebagai “batu loncatan” untuk bekerja lebih giat dan tekun lagi. Dengan begitu, tanpa terasa, apa yang dirasa sebagai keberuntungan-keberuntungan lain, akan terus mendatangi.

Terus berkarya, terus bekerja.

sumber : andriewongso.com