Kecerdasan adalah bekal paling dasar yang diberikan kepada manusia untuk hidup. Sayang, banyak yang tak mengelolanya dengan baik. Dengan cerdas hidup, kita bukan hanya memahami hidup, tapi juga menjadikannya sebagai mentalitas yang membuat kita kaya dalam arti sesungguhnya.
Suatu kali, seorang bocah dibawa ke seorang yang dianggap pintar meramal. Ini adalah kebiasaan masyarakat setempat, untuk melihat “masa depan” dari anak-anak, sehingga ke depan bisa diketahui si bocah akan jadi apa kelak. Si peramal mengatakan hal yang sangat mengecewakan. Si bocah disebut punya shio yang berat, harus kerja keras terus. Selain itu, waktu lahirnya pun dianggap kurang menguntungkan. Belum lagi, dari segi perwajahan. Intinya, sang bocah akan menjadi orang yang sengsara sepanjang hidupnya. Sungguh, sebuah ramalan yang sangat melemahkan semangat.
Beruntung, sang ibu yang membawa si bocah tak percaya begitu saja. Si ibu tetap yakin, bahwa setiap orang pasti punya hak untuk hidup lebih baik. Memang, ibu dan anak itu di masa tersebut hidup menderita. Hidup di kontrakan yang setengah rumah berdinding bambu, setengah lagi baru tembok. Itu pun antar-rumah saling berimpitan. Pengap, kotor, dan terkesan kumuh. Sungguh, kalau tak berpikir positif, ramalan itu sudah jadi nyata saat itu. Seolah-olah, tak bakal ada hal yang bisa diubah dari kehidupan seperti itu. Namun, sekali lagi, si ibu menegaskan pada bocah tersebut—juga saudara-saudaranya—bahwa sebagai manusia, sepanjang mau berusaha, pasti ada jalan keluar di setiap permasalahan. Sang ayah pun menguatkan, dengan mengatakan sebuah filosofi yang terus diingat si bocah, sepanjang gunung masih menghijau, jangan takut kehabisan kayu bakar. Intinya, mereka diyakinkan, bahwa sepanjang masih ada tenaga, kekuatan, kemampuan, dan usaha perjuangan mati-matian, harapan untuk memperbaiki hidup akan selalu ada.
Tanpa disadari, sang bocah sedang mendapat pelajaran hidup dari kedua orangtuanya. Dukungan moral yang diberikan, membuat sang bocah bertumbuh dengan pola pikir yang positif. Pembelajaran yang diberikan sejak dini tersebut, menjadi bekal kecerdasannya dalam “mengolah” hidupnya kelak. Terbukti, pola pikir, tindakan, dan perbuatan yang dilakukan sang bocah, pelan tapi pasti, berhasil “melawan takdir” sang peramal. Filosofi yang ditanamkan kedua orangtuanya bukan hanya menguatkan tekadnya untuk memperbaiki hidup. Namun, lebih dari itu. Sang bocah, berhasil mengubah semangat dan tekad menjadi pikiran dan tindakan yang cerdas, sehingga kini ia dikenal pengusaha sekaligus motivator ternama Indonesia.
Hampir senada dengan kisah tersebut, Thomas Alva Edison, sang penemu terbesar dunia, mengalami pengalaman serupa. Saat kecil, di sekolahnya, ia dianggap bodoh oleh guru dan teman-temannya. Karena itu, Edison cenderung menjadi penyendiri. Kadang, ia jadi bahan tertawaan teman-temannya. Mendapati hal tersebut, sang ibu memilih untuk mendidiknya sendiri.
Edison lantas mendapat perhatian yang luar biasa dari ibunya. Selain kasih sayang, ia juga mendapat bekal kepercayaan diri yang terus ditumbuhkan sang bunda. Edison pun tumbuh menjadi remaja yang gemar bereksplorasi dengan dunianya. Wejangan sang ibu, akhirnya membuat Edison jadi pria pantang menyerah yang dalam kisah sejarah, disebutkan telah membuat sedemikian banyak kegagalan. Tapi, dari kegagalan itulah, Edison menyebut, ia “sedang” belajar. Waktu membuktikan, namanya menjadi tokoh penemu terhebat yang mengubah dunia. Sebagai ilmuwan, ia bukan hanya pintar, tapi cerdas dalam mengalahkan segala keterbatasan.
Hidup Bukan Sesuatu yang Kaku
Kisah Thomas Alva Edison dan apa yang dialami Sang Motivator, Andrie Wongso, adalah contoh nyata, bahwa hidup bukan sesuatu yang kaku. Hidup justru merupakan “ladang ilmu” yang bisa membuat kita jadi insan yang cerdas atau bodoh, sesuai dengan pilihan yang kita ambil. Andai saja misalnya, Edison menuruti ejekan teman-temannya dan memilih tak mendengar imbauan ibunya—sebaliknya, sang ibu pun tak memutuskan untuk mendidik Edison dengan benar—bisa jadi sejarah akan berubah. Di sini, ada faktor sangat kuat berupa pilihan hidup. Yakni, Edison memilih untuk menuruti apa yang diberikan sang ibu. Ia memilih menjadikan “pengetahuan” dari ibunya sebagai bekal hidup. Tanpa Edison memilih itu—sehebat apa pun pengetahuan yang diberikan—ia tak akan jadi siapa-siapa. Di sinilah, Edison memiliki kecerdasan hidup, untuk mengolah pengetahuan dari sang ibu menjadi kekuatan untuk mengubah dirinya menjadi insan yang luar biasa.
Artinya, semua sebenarnya berada di tangan sang pemilih, alias orang itu sendiri yang akan menjalani pilihan-pilihan dalam hidupnya. Sejalan dengan ajaran mulia di agama Islam, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa kaum tersebut berusaha sendiri untuk mengubahnya. Pengertian universal tersebut mengajarkan, segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan “bekal” hidup. Tapi, siapa yang mau memaksimalkan bekal itu menjadi hal yang positif atau negatif, di sinilah kecerdasan seseorang menjadi penentunya.
Itu pula yang dialami Andrie Wongso. Mengalami pahit getir hidup—yang diramal mustahil diubah—namun Andrie memilih untuk mengubahnya. Ia memilih untuk tidak menuruti hal negatif yang didengar dan dirasakannya.
“Hidup itu adalah pilihan. Mana yang kita pilih, semua mengandung risikonya masing-masing. Tapi, kalau kita cerdas memilih dan melakukan apa yang pas untuk kita, semua dimungkinkan untuk diubah, termasuk kondisi yang serba tak mungkin sebelumnya,” tegas Andrie.
Untuk mengubah dan memilih hal yang paling tepat itulah, kita butuh kecerdasan hidup. Ini bukan semata tahu apa itu hidup, mengerti, dan memahami berbagai teori seputar hidup. Tapi, cerdas hidup lebih dari itu. Kecerdasan hidup merangkum pengertian sekaligus tindakan, atas segala pilihan-pilihan yang mungkin terjadi.
“Orang yang cerdas hidup tahu persis, tak ada gagal yang final dan tak ada sukses yang terus-menerus. Karena itu, ia akan selalu cerdas dalam mengelola dan memilih apa yang terbaik untuk diri dan sekitarnya,” papar motivator yang juga dikenal sebagai Sang Pembelajar.
Intinya, orang bisa menjadi cerdas atau bodoh hidup, bergantung pada apa yang menjadi pilihannya. Ibarat orang yang dititipi rumah. Kalau cerdas, ia akan membuat rumah tersebut semakin nyaman ditinggali. Ia bisa menghiasinya, mengecatnya, merawatnya, hingga membuat siapa pun yang tinggal, selalu betah. Sebaliknya, yang bodoh, akan membuat rumah sekadar sebagai tempat tinggal. Bocor yang dibiarkan saja, atau ditambal seadanya. Rumah kotor dan pengap pun, sepanjang masih bisa ditinggali, akan didiamkan saja. Akibatnya, rumah tak terawat, dan kehancuran hanya menunggu waktu saja. Padahal, dari awal, rumah itu sama. Cuaca yang mungkin terjadi juga sama. Hujan dan panas, sama-sama pula menerpa kedua rumah tersebut. Di sinilah, antara yang cerdas dan bodoh hidup menentukan “takdir”-nya masing-masing. Begitu pula kita. Tahu dan sadar begitu banyak karunia Tuhan yang diberikan, hanya yang cerdaslah yang akan mendapat banyak kebaikan dan keberkahan.
sumber : andriewongso.com