Mel Young, Jiwa Sosial yang Terbangun Sejak Muda

Jiwa sosial Mel Young sudah terbangun sejak muda. Ayah tiga anak lulusan Edinburgh and Heriot-Watt University, Edinburgh, Skotlandia, ini sudah aktif di penerbitan komunitas sejak akhir tahun 1970-an. Pertama kali, ia menerbitkan majalah City Lynx pada tahun 1979. Dua tahun kemudian, ia membuat media kawasan Wester Hailes Sentinel, yang diedarkan di Edinburgh.

Ketika pada awal tahun 1993 ia melihat jumlah tunawisma bertambah banyak di kotanya, ia terpikirkan untuk membantu mereka dengan cara membuat media yang dibuat oleh mereka, dijual oleh mereka, dan untuk mereka. Ia kemudian mengadopsi koran The Big Issue yang terbit di Inggris untuk dibuat edisi Skotlandianya. The Big Issue adalah koran yang dikenal sebagai street newspapers (street papers), koran yang dibuat untuk kalangan tuna wisma.

Jenis media seperti ini, sebenarnya mulai populer di akhir dekade 1980-an di Amerika sebagai sarana komunikasi kaum tunawisma. Pada awalnya diterbitkan oleh lembaga-lembaga nirlaba sebagai bentuk kegiatan sosial mereka untuk membantu kaum tunawisma. Lama-kelamaan ada juga penerbit yang mengelolanya secara profesional dengan tetap menekankan pada sisi sosialnya, yaitu mempekerjakan kaum tunawisma. Liputan seputar tunawisma pun makin mempererat solidaritas di antara mereka. Ide itu kemudian menyebar ke sejumlah negara termasuk Inggris, hingga lahirlah The Big Issue yang kemudian menjadi salah satu street papers terbesar di dunia. Itulah yang mendorong Young untuk membuat The Big Issue edisi Skotlandia.

Pada tahun 2001, para pengelola street papers dari seluruh dunia mengadakan konferensi International Network of Street Papers di Afrika Selatan. Di sana dirumuskan proyek untuk mengembangkan street papers ke 60 negara. Di konferensi itu Young bertemu pengelola street papers dari Austria, Harald Schmied, yang sama-sama penggila bola. Di antara mereka berdua muncul kesamaan ide, yakni bagaimana caranya agar bisa membantu para tunawisa (homeless) di 60-an negara yang memiliki bahasa berbeda-beda. Dan ternyata mereka menemukan bahasa pemersatunya yaitu sepakbola. Ide itulah yang kemudian memunculkan Homeless World Cup, yaitu kejuaraan dunia street soccer (sepakbola jalanan) bagi kaum tunawisma.

Homeless World Cup dikonsep sebagai program untuk menciptakan perubahan positif bagi kalangan tuna wisma dengan melibatkan para tunawisma dalam kegiatan sepakbola jalanan. Meski kejuaraan dunia ini hanya melibatkan tak sampai 20-an tuna wisma wakil dari tiap negara peserta (sebut saja tim nasional Homeless World Cup), namun sebelum mengerucut menjadi tim nasional tersebut, tiap-tiap negara pasti harus menyeleksi pemainnya dari ratusan hingga ribuan tuna wisma. Dan supaya mereka terpilih tentu saja mereka butuh latihan. Kegiatan inilah yang diharapkan membelokkan kegiatan para tunawisma dari memikirkan (mengerjakan) hal-hal negatif menjadi kegiatan positif.

Dengan ide itulah Young menjajakan konsepnya ke sejumlah pihak, termasuk lembaga sepakbola seperti UEFA (Federasi Asosiasi Sepakbola Eropa) dan sejumlah perusahaan untuk mendukungnya. Dua tahun kemudian, 2003, dimulailah Homeless World Cup yang pertama yang diselenggarakan di Austria. Saat itu tim pesertanya baru 18 negara. Namun terus bertambah tiap tahunnya. Tahun 2012 lalu, jumlahnya sudah lebih dari 70 negara, termasuk Indonesia yang mencapai peringkat keempat.

Menurut Young, jumlah tuna wisma yang terlibat sudah 10.000 orang sejak Homless World Cup pertama. Mereka tak semuanya tunawisma, tetapi ada juga para pecandu narkoba yang berasal dari panti-panti rehabilitasi. Dimasukkannya para penghuni panti ini sesuai dengan semangat penyelenggaraan kejuaraan ini yaitu untuk memperbaiki kehidupan sosial para remaja dari jurang kehancuran.

Young dan tim sempat menelusuri efektivitas programnya. Untuk menemukkannya dilakukanlah penelitian seusai penyelenggaraan Homeless World Cup di Edinburgh tahun 2005. Dari 217 pemain yang terlibat di kejuaraan itu, 38% mengaku sudah mendapatkan pekerjaan enam bulan setelah mengikuti kejuaraan itu, 40% mengaku ada perbaikan kehidupannya (tak lagi jadi tunawisma), 18% masih berjualan street papers, dan 94% mengaku memiliki motivasi baru untuk hidup. Efektivitas itulah yang membuat Young terus bersemangat untuk tetap menyelenggarakan Homeless World Cup. Ia bahkan berharap jumlah tuna wisma yang terpengaruh akan lebih banyak lagi sehingga makin banyak anak-anak tuna wisma yang bisa diperbaiki kehidupannya.

Atas prakarsa ini Young mendapatkan sejumlah penghargaan. Salah satunya sebagai Social Entrepreneur 2008.

sumber : andriewongso.com