Ursula M Burns dikenal sebagai perempuan Afro-Amerika pertama yang menduduki posisi CEO di perusahaan yang masuk Fortune 500.
Dia diangkat menjadi CEO Xerox Corporation, sebuah perusahaan dokumentasi yang terkenal dengan mesin foto kopinya, Pada Juli 2009 dan bertahan hingga kini.
Segera setelah pengangkatannya itu pengaruhnya terasa di Amerika Serikat. Bahkan kalangan industri teknologi informasi dan dokumentasi merasakan pengaruhnya juga. Sampai sampai Forbes memasukkannya ke daftar Most Powerful Women in the World, terakhir diurutan ke 22 pada 2014 lalu.
Hal yang paling mengesankan mengenai keberhasilan Burns adalah sifatnya yang rendah hati, etos kerja yang kuat dan tekadnya untuk naik ke atas. Perempuan kelahiran 20 september 1958 ini lahir dari pasangan imigran Panama.
Dibesarkan dikawasan kumuh di timur Manhattan, Burns dibesarkan oleh ibunya yang merupakan seorang orangtua tunggal disebuah perumahan padat penduduk, Ibunya bekerja menjalankan sebuah penitipan anak di rumahnya dan menerima pesanan setrika pakaian.
Sang Ibu berhasil menyekolahkan Burns dan dua saudara kandungnya di sebuah sekolah katolik swasta. Dia percaya bahwa hal tersebut adalah satu-satunya hal yang dapat membuat anak -anaknya mendapatkan pendidikan yang baik dan untuk menjaga mereka agar tetap aman.
Burns meneruskan studinya di Kampus Polytechnic Institute yang berada di New York. Burns dikenal sebagai seorang yang pintar dan selalu menjadi bintang kelas, Saat di perguruan tinggi. sinar inilah yang membuat Xerox begitu terpikat pada sosok perempuan yang rajin ini.
Burns memulai karirnya di Xerox pada tahun 1980,ketika dia mengikuti magang untuk lulusan teknik. Dia juga mendapat beasiswa dari Xerox yang membantunya untuk menyelesaikan master di Columbia University.
Ketika Burns lulus pada tahun 1981 dengan gelar Master Jurusan teknik mesin, dia langsung diangkat menjadi pegawai tetap di Xerox.
Berkat kerja keras dan tekad yang kuat, perlahan dia membangun kariernya hingga sekarang. Awalnya Burns bekerja pada departemen product development and planning sampai dengan tahun 1990.Hingga akhirnya Wayland Hicks, seorang senior executive dapat melihat potensi dirinya hingga menawarkan posisi sebagai executive assistant kepadanya.
Pada tahun 1999,karirnya semakin menanjak dan menempati posisi wakil presiden bagian manufaktur global. Dia pun sangat dekat dengan CEO Xerox saat itu, Anne Mulcahy.
Tahun 2009 merupakan puncak kesuksesan seorang Ursula Burns. Dia ditunjuk sebagai CEO sampai sekarang.
Pada tahun 2000,Xerox menghadapi masalah dan memiliki masa depan yang tidak jelas. Dia bertanggung jawab untuk pusat teknik dan 5divisi yang berbeda,senilai 80%dari keuntungan Xerox.
Burns menerapkan sebuah perencanaan untuk menyelamatkan perusahaan dan melakukan efisiensi melalui penelitian dan pengembangan produk baru dan teknologi,yang berhasil membantu memperbaiki keadaan perusahaan.
Burns bekerja bersama Mulcahy yang menganggap Burns sebagai suksesor. Burns akhirnya menjadi dewan direksi dan CEO pada tahun 2009,membuatnya menjadi wanita keturunan Afrika-Amerika pertama yang memimpin perusahaan yang masuk dalam jajaran Fortune 500.
Dibalik seluruh kesuksesan karier dan tuntutan pekerjaannya, Burns selalu menghabiskan waktu akhir pekan dengan keluarganya dan hanya bekerja dari rumah ketika anak -anaknya telah tidur,atau pada pagi hari sebelum mereka terbangun. Dia selalu bekerja keluar dan juga berpartisipasi pada acara-acara social.
Walaupun Burns mengatakan sulitnya untuk mempertahankan work-life balance, nampaknya dia sebenarnya sudah sangat dekat dengan hal tersebut dan ingin menginspirasi orang lain melalui kisah suksesnya.
Lewati 3 Hambatan Besar
Menurut Ursula Burns, banyak yang mengatakan kepadanya bahwa dia memiliki 3 hambatan besar dalam hidupnya yaitu berkulit hitam, seorang wanita, dan miskin.
Ketiga hal tersebut tidak membuat Burns berhenti memiliki mimpi yang besar dan menemukan jalannya sendiri dalam kehidupan.
Burns merupakan seorang siswa yang pintar, pelajaran favoritnya adalah matematika. Ketika dia menemui guru pembimbing di SMU Katedral,dia hanya diberikan 3pilihan ,mengajar, menjadi suster atau menjadi seorang biarawati.
Pada saat itulah Burns memutuskan untuk mencari karier yang potensial dan memilih teknik kimia sebagai jurusannya pada saat kuliah. Dia secara cepat mengetahui bahwa teknik kimia bukanlah bidang yang cocok untuknya sehingga dia mengganti menjadi teknik mesin,yang membuatnya mendapatkan gelar dari Polytechnic Institute of New York.