Suatu kali, seorang bocah bernama Walter Jeremiah Sanders III ditinggalkan orangtuanya. Saat itu, ia masih berusia 5 tahun. Sanders kemudian dirawat oleh kakek dan neneknya. Dari mereka inilah, Sanders diajarkan untuk menggunakan kemampuan sendiri untuk mendapatkan hal yang diinginkan. Pengertian tersebut oleh Sanders dijadikan pegangan hidupnya. Bahkan, suatu saat, ketika ia dipukuli oleh kumpulan preman, ia berusaha sendiri melawan mereka. Hingga, Sanders sempat koma hingga 3 hari.
Menginjak usia dewasa, selepas kuliah, ia bekerja sebagai sales yang menjual IC atau integrated circuits, untuk keperluan berbagai macam komponen elektronika. Di sini, kecakapannya menjual mendapat apresiasi dari pelanggan, tapi justru tidak dari teman sekantornya. Akibatnya, ia didepak karena dianggap menyaingi pimpinan dan teman sekantor. Beruntung, karakter mandiri yang ditanamkan kakek dan neneknya sejak kecil, membuat Sanders malah berani bertekad memulai usahanya sendiri.
Ia pun menerjuni penjualan komponen semi konduktor untuk komputer. Ia menamai perusahaan itu AMD, singkatan dari Advanced Micro Devices. Dengan kemampuan sales-nya yang mumpuni, pelan tapi pasti AMD mampu menjadi perusahaan yang terus berkembang. Bahkan, dapat bersaing dengan Intel, sebagai penyedia prosesor komputer nomor satu di dunia. Hebatnya, Sanders memulai semua dari nol, hanya berbekal keyakinan kuat dan kerja keras yang luar biasa.
Kisah lain seputar masa kecil gemblengan di masa kecil juga bisa kita dapat dari tokoh Iwan Setiawan. Pemuda anak tukang angkot ini menjalani hidup keras di masa kecilnya. Dari sang bapak, ia diajarkan untuk menjadi “lelaki” yang kelak harus meneruskan menjadi sopir angkot, karena ia satu-satunya anak lelaki di keluarga tersebut. Namun beruntung, sang ibu mendukung Iwan untuk belajar rajin agar mampu keluar dari “kutukan” sebagai sopir angkot. Dua kombinasi unik—keras dari bapak dan lembut dari ibu—membuat Iwan menjadi anak cerdas yang punya tekad kuat. Salah satunya, bertekad mengubah nasib dengan menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB). Sang bapak yang tadinya menentang, akhirnya “mengalah” dan memberikan “kejutan” dengan menjual angkot—satu-satunya harta karun keluarga untuk biaya kuliah Iwan.
Iwan “membayar” kepercayaan itu dengan belajar rajin dan bekerja keras. Hingga, ia pun berhasil melanglang buana bekerja menjadi direktur di sebuah perusahaan berkelas dunia di Amerika Serikat. Kisah Iwan si anak angkot yang menaklukkan “Big Apple” New York kini menjadi buku laris inspiratif yang bahkan difilmkan dengan judul yang sama, 9 Summers 10 Autumn.
Kedua kisah tersebut menjadi gambaran bahwa apa yang ditanamkan di masa kecil dapat menjadi bekal luar biasa di masa depan. Karakter mandiri yang diperoleh Sanders dan karakter keras namun lembut dari Iwan bukan diperoleh sehari dua hari. Mereka sama-sama berkutat di lingkungan tempat mereka tumbuh dengan kondisi apa adanya. Kadang berat—bahkan sangat berat—namun justru di situlah karakter seorang bocah digembleng. Dengan gemblengan tersebut—yang tentunya juga dibarengi kasih sayang dan perhatian dari orang terdekat—menjadikan mereka sebagai “manusia” yang membumi. Yakni, mau berjuang mati-matian untuk sebuah tujuan hidup, namun tak lupa pada “nilai kodrati” di mana asal mereka masing-masing. Hasilnya, Sanders memperlakukan karyawan AMD dengan sangat baik dan menjauhi praktik kotor untuk usahanya. Sementara Iwan “kembali” ke kampungnya, dan membagikan inspirasi hidupnya untuk memicu semangat bahwa semua bisa diraih dengan perjuangan.
Ibarat sebuah kanvas lukisan, warna-warni kehidupan seseorang memang sering dipengaruhi pada bagaimana karakter mereka ditanamkan sejak kecil. Kemudian, saat mereka berinteraksi dengan lingkungannya, karakter tersebut menjadi “pembeda” bagi masing-masing. Ada yang kemudian menjadi “orang” dengan kemauan keras mengejar cita-cita, ada yang cenderung sudah merasa bahagia asal cukup saja. Tapi, ada kalanya pula, ada yang over ambition sehingga yang muncul malah sikap rakus dan tamak, yang ujungnya jika terus dituruti bisa mendatangkan persoalan.
Di sinilah kekuatan karakter yang ditanamkan sejak kecil menjadi semacam “blue print” kehidupan. Atau, bisa jadi malah sebagai “budaya perusahaan” dalam diri, sehingga apa pun yang kita lakukan saat ini, sebenarnya itu adalah gambaran “apa yang telah terukir” di masa lalu. Artinya, jika ingin mencetak generasi masa depan yang luar biasa, sekaranglah saatnya kita perbanyak menanamkan hal positif pada generasi penerus kita.
Memang, tak ada yang instan dan mudah dalam mewujudkan apa yang ingin kita raih. Menanamkan karakter unggul/juara, harus diperkuat dengan perjuangan yang tak mudah. Bahkan, kadang melelahkan karena harus berkali-kali jatuh. Namun, hal itu pulalah yang harus terus kita yakinkan pada generasi mendatang, bahwa tak ada perjuangan yang sia-sia. Sebab, sejatinya, waktu juga yang akan menjawab. Sepanjang kita terus berusaha, berupaya, dan berjuang meraih cita-cita, selalu ada jalan membuat impian menjadi nyata.
Mari kita tanamkan nilai-nilai perjuangan, bukan hanya untuk generasi sekarang, namun juga untuk masa depan Indonesia yang jauh lebih baik!
sumber : andriewongso.com