TAK PERNAH KEHILANGAN HARAPAN



Chris Gardner lahir di Milwaukee, Wisconsin, 9 Februari 1954. Ia dibesarkan oleh ibu dan ayah tirinya. Namun ayah tirinya punya tabiat kasar baik pada ibunya maupun anak-anaknya. Bahkan menuduh ibunya penipu sehingga sang ibu sampai dipenjara. Gardner sendiri kemudian dibesarkan di panti bersama adiknya.

Selama di panti ia mendapat bimbingan dari tiga orang, yang salah satunya adalah Henry seorang marinir yang ia anggap ayahnya. Sayangnya Henry meninggal karena kecelakaan. Saat penguburannya ibunya datang didampingi penjaga penjara. Saat itulah ia baru tahu kalau selama ini ibunya dipenjara. Saat itu Garner berusia delapan tahun.

Sebelum balik lagi ke penjara ibunya menasihatinya tentang kemandirian. "Kamu hanya bisa bergantung pada dirimu sendiri. Pasukan penolong tak akan pernah datang," ujar Gardner menirukan kata-kata ibunya suatu kali. Setelah itu Gardner selalu berpegang pada kata-kata ibunya tersebut.

Setelah meniti karier sebagai perawat di barak militer, ia sempat berkeinginan melanjutkan sekolah bidang medis agar masa depannya lebih baik. Kariernya sempat naik hingga menjadi asisten lab. Namun karena gajinya juga kecil ia memikirkan pekerjaan lain. Pada saat itu ia sudah memiliki anak. Namun saat mengemukakan keinginannya banting stir dari profesinya, pacarnya (ia sendiri bercerai dan memiliki seorang anak) tak setuju. Namun Gardner tetap dengan pendiriannya. Ia kemudian menjadi salesman alat-alat kedokteran dengan gaji dua kali lipat.

Suatu kali di San Francisco ia bertemu dengan seorang lelaki necis yang mengendarai Ferrari. Lelaki itu sedang mencari tempat parkir. Gardner sangat kagum dengan lelaki itu dan mobil mewahnya. Karena itu dengan tak segan ia menawarkan tempat parkir yang akan digunakan mobil bututnya, tetapi dengan syarat, lelaki itu harus menjawab dua pertanyaan: "Apa pekerjaan Anda dan bagaimana melakukannya?"

Si profesional yang tak lain adalah Bob Bridges, pialang saham, menjawabnya dengan mengajak Gardner belajar menjadi pialang saham. Kesempatan itu tak disia-siakan. Gardner pun mulaitraining di perusahaan di mana Bridges bekerja. Begitu asyiknya belajar dan karena inginnya memiliki mobil Ferrari seperti Bridges, ia sampai tak pulang-pulang. Mobilnya tetap diparkir di tempatnya dan menumpukkan tiket parkir yang tak terbayar sebesar US$1200. Karena tak mampu bayar Gardner dipenjara 10 hari.

Setelah keluar penjara ia bertekad menjadi pialang saham. Ia diterima sebagai trainee di Dean Witter Reynold, perusahaan pialang saham. Gajinya hanya US$1000 yang tentu saja tak mencukupi kebutuhannya. Uang itu hanya bisa untuk makan dan tak ada sisa untuk menyewa tempat tinggal. Ia terima tawaran itu. Yang penting belajar. Dan ia melakukannya dengan belajar keras.

Akhirnya ia pun lulus dari training itu. Namun karena belum mendapatkan klien, ia tak mendapat tambahan penghasilan. Buruknya lagi, ia juga harus mengurus anaknya sendiri yang masih kecil karena mantan istrinya tak mau mengurusnya. Gardner tak mau mengecewakan anaknya. Ia ingat masa kecilnya. Karena itu, meski tak punya tempat tinggal ia berusaha memelihara anaknya dan membuat anaknya gembira. Tak satupun rekan kerja Gardner tahu kalau ia dan anaknyahomeless saat itu. Mereka tidur di berbagai tempat yang aman. Kadang di tempat parkir, di kantor, bahkan di ruang toilet stasiun.



 Usaha mati-matian menjadi pialang saham itu tak sia-sia. Akhirnya Gardner sukses juga jadi pialang. Di perusahaan yang mempekerjakannya kemudian, Bear, Stearns & Company, ia menjadi pialang dengan pendapatan tertinggi. Prestasinya itu membuat ia bisa membeli mobil Ferrari seperti yang dimiliki oleh Bridges. Lebih hebat lagi, mobil Ferrari yang dibelinya adalah Ferrari milik legenda bola basket AS, Michael Jordan, sehingga lengkaplah kesuksesannya itu.

Kisah suksesnya itu mengilhami banyak orang. Buku biografinya. The Pursuit of Happiness, jadi buku best seller. Bahkan ketika difilmkan, filmnya mendapat banyak pujian. Itulah hasil dari keyakinan, keinginan kuat, dan kerja keras. Gardner sendiri mengemukakannya dalam kalimat pendek, "I was homeless, but I wasn't hopeless". Saya pernah tak punya tempat tinggal, tapi tak pernah kehilangan harapan.

sumber : andriewongso.com